Kamis, 13 Maret 2014

Sejarah Perkembangan Demokrasi Dunia


 

SEJARAH PERKEMBANGAN DEMOKRASI DUNIA

Konsep demokrasi semula lahir dari pemikiran mengenai hubungan antara negara dan hukum di Yunani Kuno yang dipraktekkan dalam kehidupan bernegara antara abad ke-6 SM sampai abad ke-4 M. Sifat demokrasi yang dipraktekkan pada waktu itu adalah demokrasi langsung (direct democracy).
Direct democracy artinya hak rakyat untuk membuat keputusan politik dijalankan secara langsung oleh seluruh warga negara berdasarkan prosedur mayoritas. Sifat langsung itu berjalan efektif karena Negara Kota (City State) Yunani Kuno berlangsung dalam kondisi sederhana dengan wilayah negara yang hanya terbatas pada sebuah kota kecil dengan jumlah penduduk sekitar 300.000 orang.  Selain itu ketentuan-ketentuan menikmati demokrasi hanya berlaku bagi warga negara yang resmi saja, sedangkan budak belian, para pedagang asing, perempuan dan anak-anak tidak dapat menikmatinya.Akhir abad pertengahan muncul adagium-adagium masyarakat untuk menghidupkan kembali demokrasi sebagaimana telah dipraktekkan di zaman Yunani Kuno, karena masyarakat menganggap tanpa demokrasi kepentingan-kepentingan masyarakat semakin terabaikan, kebebasan masyarakat semakin terkekang, disamping pengambilan keputusan hanya terletak pada satu orang yakni raja, tanpa mempertimbangkan apakah keputusan yang diambil merupakan aspirasi rakyat atau malah membuat masyarakat semakin menderita. Di Inggris upaya-upaya masyarakat mencapai hasilnya pada tahun 1215 ketika Raja John Lacklandmenandatangani perjanjian antara kaum bangsawan dan Kerajaan yang dikenal dengan “Piagam Magna Charta”.Dalam magna charta ditegaskan tentang jaminan beberapa hak dan hak-hak khusus (prevelegas) dari para bawahannya. Magna Charta juga memuat dua prinsip dasar yakni 1). Tentang pembatasan kekuasaan rata dan 2). Hak Azasi Manusia lebih penting dari kedaulatan raja (Muktar Mas’oed:1995)Momentum lainnya yang menandai kemunculan kembali demokrasi di Barat adalah gerakanrenaisance dan reformasi
Renaisance merupakan gerakan yang menghidupkan kembali minat pada sastra dan budaya Yunani Kuno. Gerakan ini lahir di barat karena kontak dengan dunia Islam yang ketika itu sedang berada pada puncak kejayaan ilmu pengetahuan, seperti ilmuwan Ibnu Khaldum, Al-Razi, Oemar Khayam, Al-Khawarizmi dan lainnya yang bukan hanya berhasil mengasimilasikan pengetahuan Parsi Kuno dan warisan klasik (Yunani Kuno) melainkan berhasil menyesuaikan berdasarkan kebutuhan-kebutuhan yang sesuai dengan alam pikiran mereka sendiri.Renaisance merupakan upaya-upaya pemuliaan terhadap akal pikiran dan perkembangan ilmu pengetahuan guna melihat hal-hal yang lebih baik untuk dikembangkan. Salah satu cermatan dalam renaisance adalah mempraktekkan kembali kehidupan demokrasi, karena adanya anutan kebebasan dalam bertindak sepanjang sesuai dengan akal pikiran (Azyumardi Azra, 2003:126).Momentum lain kemunculan kembali demokrasi di barat adalah reformasi terhadap adanya kekuasaan raja atau pemimpin agama yang dianggap absolutisme monarchi. Hal ini didasari pada teori rasionalitas sebagai “social contract”  (perjanjian masyarakat) yang salah satu asasnya menentukan bahwa dunia ini dikuasai oleh hukum yang timbul dari alam (natural law) yang mengandung prinsip yang universal, berlaku untuk semua waktu dan semua orang, baik raja, bangsawan maupun rakyat jelata.Teori hukum alam merupakan usaha mendobrak pemerintahan absolut dan menetapkan hak-hak politik rakyat dalam satu asas yang disebut demokrasi (pemerintahan rakyat). Dua filsuf besar yaitu John Locke dan Montesquieu telah memberikan sumbangan yang besar bagi gagasan pemerintahan demokrasi (pemerintahan rakyat).John Locke dari Inggris (1632-1704) mengemukakan bahwa hak-hak politik rakyat mencakup hak atas hidup, kebebasan dan hak untuk memiliki (live, liberty, and property). Sedangkan Montesquieu dari perancis (1689-1744) mengungkapkan sistem pokok yang dapat menjamin hak-hak politik adalah melalui “trias politica” yaitu suatu sistem pemisahan kekuasaan  yaitu legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Ketiga unsur tersebut dipegang oleh organ sendiri secara independent atau merdeka.Pada kemunculannya kembali di Eropa, hak-hak politik rakyat dan hak-hak asasi manusia secara individu merupakan tema dasar dalam pemikiran politik, untuk itu timbul gagasan untuk membatasi kekuasaan pemerintah melalui apa yang dikenal konstitusi. Pembatasan ini yang kemudian kita kenal dengan konstitusionalisme. Salah satu ciri negara yang menganut sistem demokrasi konstitusional adalah sifat pemerintah yang pasif, pemerintah hanya menjadi pelaksana dari keinginan-keinginan rakyat yang telah dirumuskan oleh wakil rakyat dalam parlemen, peranan negara lebih kecil dari keinginan rakyat.Carl J. Friedrick mengemukakan bahwa konstitusionalisme adalah gagasan yang mengatakan bahwa pemerintah merupakan suatu kumpulan aktivitas yang diselenggarakan atas nama rakyat, tetapi tunduk pada beberapa pembatasan yang dimaksud untuk memberi jaminan bahwa kekuasaan yang diperlukan untuk memerintah itu tidak disalahgunakan oleh mereka yang mendapat tugas untuk memerintah.  Jika dibandingkan dengan konsep Trias Politica Mostesqiueu, tugas pemerintah dalam konstitusionalisme hanya terbatas pada tugas eksekutif, yaitu melaksanakan Undang-Undang yang telah dibuat oleh parlemen atas nama rakyat. Dengan demikian, pemerintahan mempunyai peranan yang terbatas pada tugas eksekutif. Konsep konstitusional abad ke-19 disebut Negara Hukum Formal (klasik)Pemerintah Welfrafe State diberi tugas membangun kesejahteraan umum  dalam berbagai lapangan (bestuurzorg) dengan konsekuensi pemberian kemerdekaan kepada administrasi negara untuk menjalankannya. Pemerintah dalam rangka bestuurzoog yang dimaksud diberikan kemerdekaan untuk dapat bertindak atas inisiatifnya sendiri, tidak hanya bertindak atas nama parlemen selama dianggap relevan dan sangat urgensi. Olehnya itu pemerintah diberikan “Fries Ermessen” atau “Pouvoir discretionnair” yaitu kemerdekaan untuk turut serta dalam kehidupan sosial dan keluasan untuk selalu terikat pada produk legislasi parlemen.Konsep Welfrafe State mempunyai tiga implikasi yang menjadikan peran pemerintah terkadang melewati batas-batas yang telah diatur dalam konstitusi kalau tidak dicontrol secara baik. Implikasi tersebut antara lain; adanya hak inisiatif (hak membuat Undang-Undang tanpa persetujuan terlebih dahulu dari parlemen), hak legislasi (membuat peraturan lain yang sederajat dibawah UU) dan “droit function” (menafsirkan sendiri aturan-aturan yang masih bersifat enunsiatif). Jadi dalam perkembangan abad 21 sekarang ini demokrasi ala Welfrafe State dianggap relevan namun perlu ditinjau dan dicontrol secara berkelanjutan untuk menjaga jangan sampai pemerintah menyalahgunakan yang bertentangan dengan makna demokrasi sendiri.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar